Ayahnya (Tsabit) berasal dari keturunan Persia sedangkan kakeknya
(Zutha) berasal dari Kabul, Afganistan. Ketika Tsabit masih didalam
kandungan, ia dibawa ke Kufah, kemudian menetap sampai Abu Hanifah
lahir. Ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali bin Abi
Thalib mendo’akan agar kelak keturunan Tsabit menjadi orang-orang yang
utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan kehadiran Imam
hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya wafat.
Abu Hanifah tumbuh dan dibesarkan di kota Kufah. Di kota inilah ia
mulai belajar dan menimba banyak ilmu. Ia pun pernah melakukan
perjalanan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan
wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh.
Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : {“ Hammad bin
Abu Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738 M]) faqih kota “Kufah”,
‘Atha’ bin Abi Rabah (W. : [114 H/ 732 M]) faqih kota “Makkah”,
‘Ikrimah’ (W. : [104 H/ 723 M]) maula serta pewaris ilmu Abdullah bin
Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan pewaris ilmu Abdullah bin
Umar serta yang lain-lain. Beliau juga pernah belajar kepada ulama’
“Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin (79-122
H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]), Ja’far bin
Muhammad Al-Shadiq ([80-148 H/ 699-765 M]) serta Abdullah bin Al-Hasan.
Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal :
Anas bin Malik ([10 SH-93 H/ 612-712 M]), Abdullah bin Abi Aufa ([w. 85
H/ 704 M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi ([8 SH-88 H/ 614-697
M]) di kota Madinah serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin
Watsilah (W. : [110 H/729 M]) di kota Makkah.
Abu Hanifah belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad
wafat. Dan setelah itu beliau mengganti kedudukan Hammad sebagai
pengajar di majelis ilmu fiqih di kota Kufah dengan gelar Imam ahl
al-ra’y yang artinya pemimpin ulama ahlu al-ra’y. Ia pernah berkata
bahwa ia tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan gurunya Hammad dan
setiap orang yang pernah mengajarinya (belajar kepadanya).” Hammad bin
Abi Sulaiman adalah seorang guru yang paling berpengaruh dalam
pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah.
Karya-karya Abu Hanifah yang telah sampai kepada kita adalah Kitab:
Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Risalah, Kitab Kitab Al-Washiyyah, Al-Fiqh
Al-Absath dan Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim. Abu Hanifah tidak menulis
karangan dalam bidang fiqih, akan tetapi murid-muridnya telah merekam
seluruh pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah dengan lengkap sehingga
menjadi madzhab yang dapat diikuti oleh kaum Muslimin. Diantara
murid-muridnya yaitu: Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari ([113-182
H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani ([132-189 H/750-805 M),
Zufar ibn Al-Hudzail ([110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad
Al-Lu’lu`i (w. [204 H/819 M).
Abu Hanifah telah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu pengetahuan
dalam segala bidang studi keislaman yang ia miliki, sehingga ia
termasuk Imam mujahid besar (al-imam al-a’zham) seorang Imam yang
menjadi panutan bagi kaum Muslimin sepanjang masa. Abu Hanifah pernah
berkata : sesungguhnya aku “mengistinbath” hukum dari Al-Qur’an. Bila
tidak didapatkan, maka aku pun mencarinya dari hadits-hadist dan atsar
shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang “Tsaqiat”, dan apabila aku
masih pula belum menemukannya, maka aku pun mengambil perkataan dari
sahabat yang saya kehendaki, jika semuanya itu telah aku lakukan,
walaupun aku menemukan pendapat (dari) Ibrahim Al-Nakha-i Atau (pendapat
dari) Sya’bi Atau (pendapat dari) Sa’id Ibn Musayyab, maka aku
berijtihad sebagaimana mereka itu berijtihad. (Muhammad Musa, t.t.60).
Pandangan Ulama Terhadap Abu Hanifah
Beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah,yang diantaranya adalah:- Yahya bin Ma’in berkata: “Abu Hanifah termasuk seorang yang tsiqoh, beliau itu tidak membicarakan hadits kecuali yang beliau hafal dan beliau tidak membicarakan perihal apapun yang tidak beliau hafal”. Dan pada saat (di waktu) yang lain Yahya bin Ma’ain berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqoh didalam hadits”. Dan beliau juga pernah berkata bahwa, “Abu hanifah laa ba’sa bih, ia tidak tertuduh dengan berdusta, dan ia tidak berdusta, ia orang yang jujur, …”.
- Abdullah ibnul Mubarok berkata: “Kalau saja Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan menjadi seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata: “Abu Hanifah merupakan orang yang paling-faqih”. Dan beliau pun juga pernah berkata : “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, Abu Hanifah adalah orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah walaupun kepada musuhnya’ dan kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, beliau adalah orang yang paling berakal, beliau tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau berkata, “Aku datang menuju ke kota Kufah, kemudian aku bertanya (kepada mereka) siapakah orang yang paling wara’ di (kota) Kufah ini? Maka mereka penduduk Kufah pun menjawab: Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar sudah diketahui, masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik, Sufyan dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya ialah Abu Hanifah … dan beliau adalah orang yang paling faqih dari ketiganya”.
- Al-Qodhi Abu Yusuf berkata: “Abu Hanifah pernah berkata: tidak selayaknya/pantas bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali semua yang ia hafal sebagaimana ia mendengarnya”. Kemudian beliau pun berkata : “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits selain Abu Hanifah”.
- Imam Syafii berkata: “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah ia belajar kepada Abu Hanifah”.
- Fudhail bin Iyadh berkata: “Abu Hanifah adalah seseorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk juga salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmunya, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan baik, menghindari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ pun mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
- Yahya bin Sa’id al-Qothan, berkata : “(sungguh) Kami tidak mendustakan Allah SWT, kami tidak pernah mendengar pendapat yang lebih baik dari yang lain selain pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapat darinya”.
- Hafsh bin Ghiyats, berkata: “(sungguh) Pendapat Abu Hanifah didalam masalah fiqih, pendapatnya lebih mendalam dibandingkan dengan syair, dan tidak ada seorang pun yang mencelanya melainkan mereka itu orang yang jahil tentangnya”.
- Al-Khuroibi, berkata : “(sungguh) Tidaklah orang-orang itu mencela Abu Hanifah melainkan mereka itu termasuk pendengki atau orang yang jahil”.
- Sufyan bin Uyainah, berkata : “Semoga Allah SWT (selalu) merahmati Abu Hanifah sebab beliau adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya ( orang yang banyak melakukan shalat)”.
MADZHAB HANAFI
Mazhab yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah adalah Mazhab Hanafi yang
merupakan salah satu mazhab fiqih dalam dalam islam sunni. Mazhab
Hanafi terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide-ide
modern. Mazhab ini diamalkan terutama dikalangan orang-orang Islam Sunni
di Mesir, Turki, Tiongkok, anak-benua India, dan sebagian Afrika
Barat.Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan jumlah pengikutnya
sebesar 30%, meskipun pelajar Islam di seluruh dunia belajar dan melihat
pendapatnya mengenai amalan-amalan yang diajarkan agama Islam.
Sejak pertama muncul, mazhab ini telah tersebar luas dan begitu
sangat berpengaruh di Negara Iraq. Mazhab Hanafiy ialah mazhab rasmi
Dawlah `Usmaniyyah, dan masih berpengaruh di negara-negara bekas jajahan
Dawlah `Usmaniyyah seperti Negara Syria, Mesir, Bosnia, Lubnan, dan
Negara Turki.
Metodologi Fiqih Abu Hanifah
Dasar-dasar ketetapan suatu hukum fiqh Abu Hanifah yaitu dari:- Al-Qur’an karim,
- Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. beliau mengambil sunnah yang diriwayatkan dengan ahad hanya jika rawi darinya tsiqah.
- Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar),
- Qiyas,
- Istihsan,
- Ijma’ para ulama,
- Urf masyarakat muslim,
Wafatnya Abu Hanifah
Pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yang merupakan raja yang
ke-2 Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah, Abu Hanifah dipanggil
menghadapnya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi Abu
Hanifah memilih menolak permintaan raja tersebut, karena Abu Hanifah
ingin menjauhi harta dan kedudukan dari raja, akhirnya beliau pun
ditangkap, kemudian dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Abu Hanifah wafat pada usia 70 tahun, tepatnya bulan Rajab pada tahun
150 H, dan banyak orang yang datang untuk menshalatkannya.
0 Komentar untuk "Riwayat Singkat Imam Abu Hanifah (Pendiri Madzhab Hanafi)"